A. Pendahuluan
Cerpen adalah cerita pendek, salah satu
jenis karya sastra yang memaparkan kisah ataupun cerita tentang manusia beserta
seluk beluknya lewat tulisan pendek. Cerpen merupakan karangan fiktif yang
isinya sebagian kehidupan seseorang atau juga kehidupan yang diceritakan secara
ringkas yang berfokus pada suatu tokoh saja. Cerpen perlu dikaji untuk
mengetahui inti permasalahan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada
pembacanya.
Cerpen Aku, Ratih dan Kartini merupakan
salah satu cerpen yang berbalut nuansa feminisme. Beberapa bagian dapat dikupas
rinci melalui kacamata feminisme. Feminisme yang menjadi kunci pada cerpen Aku,
Ratih dan Kartini dapat dilihat dan dianalisis melalui tuturan dan tindakan
dalam cerita cerpen tersebut. Penokohan menjadi gambaran yang jelas tentang
seseorang yang tampil dalam sebuah cerita.
Cerpen Aku, Ratih dan Kartini dikatakan
cerpen berbalut feminisme karena memposisikan perempuan sebagai subjek sentral.
Suara kaum-kaum yang tertekan bahkan tertelan hak, pendapat dan perasaannya
oleh kaum lain. Kaum lain ini tak lain adalah kaum yang telah
digariskan secara agama tertentu menjadi kaum berposisi atas yaitu laki-laki.
Hal tersebut tercermin pada cerpen Aku, Ratih dan Kartini yang mengeluarkan
suara sesosok kaum perempuan dari jiwa-jiwa yang bergejolak sebagai akibat tertekan
kaum lain.
B. Feminisme
Feminisme berasal dari Bahasa Inggris
yakni kata Feminism yang berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Menurut Kutha Ratih, feminisme secara
etimologis berasal dari kata famme (woman), yang berarti perempuan yang
bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, sebagai kelas sosial.
Feminisme adalah faham atau aliran yang
secara kontiniu menuntut persamaan atau menyetarakan hak wanita dengan
laki-laki. Dalam hal ini wanita merasa telah ditindas oleh laki-laki.
Feminisme muncul akibat dari adanya
prasangka jender yang menomorduakan perempuan. Anggapan bahwa secara universal
laki-laki berbeda dengan perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan. Perbedaan tersebut tidak hanya pada kriteria sosial
budaya. Asumsi tersebut membuat kaum feminis memperjuangkan hak-hak perempuan
di semua aspek kehidupan dengan tujuan agar kaum perempuan mendapatkan
kedudukan yang sederajat dengan kaum laki-laki.
Perjuangan kaum wanita untuk
menyeratakan gender dengan kaum laki-laki adalah satu hal yang terus
berkembang. Wanita akan terus membagi informasi serta pengetahuan kepada sesama
wanita dari satu generasi ke generasi selanjutnya agar dapat mengambil hikmah,
pelajaran, dan memotivasi diri agar kedepannya wanita mampu mengembangkan diri
dalam persaingan di masyarakat, tanpa menghilangkan kodratnya sebagai wanita.
Inti tujuan feminisme adalah
meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan
kedudukan serta derajat laki-laki.
Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup
berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang
sama dengan yang dimiliki laki-laki.
C. Kedudukan
Perempuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kedudukan adalah tempat kediaman, tempat pegawai tinggal untuk melakukan
pekerjaan atau jabatannya, tingkatan atau martabat, status. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kedudukan perempuan adalah status atau martabat
yangdimiliki perempuan di kehidupan masyarakat. Kedudukan perempuan bisa
diartikan juga sebagai gender.
Menurut Oakley, gender berarti perbedaan
yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis adalah perbedaan
jenis kelamin (sex) yang merupakan kodrat Tuhan, dan oleh karenanya secara
permanen berbeda. Gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences)
antara laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan
ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan
kultural yang panjang.Menurut teori Marxis klasik, terjadinya perubahan status
perempuan hanya dapat melalui revolusi sosialis dengan cara menghapus pekerjaan
domestik (rumah tangga).
Gerakan kaum perempuan di Indonesia
dibuka oleh pikiran-pikiran Kartini yang dituangkan melalui surat-surat kepada
temannya, beberapa perempuan Belanda yang memiliki pikiran progresif.
Pikiran-pikirannya mengandung perspektif berbeda tentang kesetaraan hubungan
perempuan dan laki-laki dibandingkan pemikiran dominan kala itu.
Dia menyadari adanya perbedaan perlakuan
terhadap perempuan dan laki-laki, dimana perempuan selalu dituntut untuk
menjadi istri dan ibu yang baik. Selain itu Kartini banyak mengritik penindasan
terhadap perempuan, seperti pembedaan dan pembatasan pendidikan perempuan serta
kekerasan dalam pernikahan. Secara tegas putri Bupati Rembang itu menyebutkan
bahwa pendidikan adalah syarat utama untuk membebaskan diri dari segala bentuk
eksploitasi perempuan.
D. Kedudukan
tokoh Ratih sebagai gadis solo
Di dalam proses
perkembangan manusia terdapat konsep-konsep mengenai pembedaan laki-laki dan
perempuan. Laki-laki dan perempuan dibedakan secara biologis dan secara
sosial-budaya. Perbedaan secara biologis di antara keduanya dianggap sebagai
hal yang natural sedangkan perbedaan secara sosial dianggap kultural.
Hal tersebut terjadi di
masyarakat solo, seperti yang diceritakan dalam cerpen Aku, Ratih dan Kartini.
Tokoh Ratih terlahir dari turunan keluarga ningrat di kalangan keraton Solo
yang masih memegang teguh adat-istiadat dan kebudayaan jawa. Dimana anak
perempuan tidak bebas keluar rumah seperti layaknya laki-laki. Anak perempuan
tidak boleh melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut
ditunjukan oleh tokoh Ratih dalam cerpen Aku, Ratih dan Kartini. Pergaulan
Ratih sangat terbatas yakni hanya bergaul dengan orang-orang dalam (keraton)
saja.
R.A. Ratih Sanggarwuni begitu nama
lengkapnya. Terlahir dari turunan keluarga ningrat di kalangan keraton Solo
yang masih memegang teguh adat-istiadat dan kebudayaan jawa. Di daerah Solo,
keluarganya masih tergolong bangsawan yang cukup dihormati masyarakat.
Kehidupan remajanya jelas dilewati dengan perkembangan zaman yang kelewat
modern namun tetap tidak mampu menembus dinding pembatas bernama kebudayaan.
Sebagai keluaraga pembesar, otomatis orangtuanya masih bersikap kaku dan keras.
Kurang bisa diajak bermusyawarah dan terlalu otoriter. Gaya lama ini tidak lain
dan tidak bukan adalah perwujudan pengasuhan anak yang masih kuno dan
ketinggalan zaman.
Betapa terkekang
kehidupan Ratih sebagai anak bangsawan. Bahkan saat ingin melanjutkan
pendidikanpun begitu sulit. Ia harus melawan budaya yang selama ini tertanam di
masyarakat keraton solo. Dalam cerpen tersebut juga, diceritakan bahwa tokoh
Ratih sebagai perempuan yang penurut. Ia selalu menuruti apa yang diinginkan
oleh ayahnya. Meski ia ingin menolak tapi ia tak kuasa untuk melakukannya. Hal
itu menegaskan bahwa perempuan selalu menuruti apa yang diperintahkan oleh
orang lain. Meskipun apa yang diperintahkan melawan kehendak hatinya. Perempuan
tidak bisa melawan.
“Ratih, kamu jangan melawan !”
bentak ayahnya. “Ratih tidak melawan, Yah…Ratih..” ”Sudah,cukup ! Kamu masuk
saja sana ke dalam” Ratih berhenti bersikeras. Meski dengan muka merengut,
Ratih tetap patuh pada ayahnya. Ia masuk ke dalam dan pergi mengadu ke tempat
ibunya.
Pada akhir cerita tokoh
Ratih bisa mewujudkan apa yang diinginkannya. Ia telah berhasil keluar dari
budaya yang selama ini mengekang kehidupannya. Ia bisa melanjutkan pendidikan
sebagaimana layaknya kaum laki-laki. Meski pada dasarnya ia dapat berhasil
karena budaya yang mengekangnya telah melemah dalam hal ini ayahnya telah
meninggal.
“Tidak apa-apa, Bu. Biar saya
lanjutkan sebentar”, katanya. “Mungkin teman-teman sangat bertanya-tanya kenapa
sekarang saya boleh bersekolah ? Saya saja tidak tahu harus bagaimana
merasakannya ? Entah saya harus senang atau sedih bisa bersekolah. Karena
beberapa bulan setelah kejadian itu, kesehatan Ayah saya memburuk akibat
penyakit jantung yang dideritanya. Dan, tak lama kemudian beliau wafat. Tragis
ya, aku bisa bersekolah karena ayahku sudah meninggal”, kalimatnya berakhir
dengan gemetar.
E. Simpulan
Feminisme adalah faham atau aliran yang
secara kontiniu menuntut persamaan atau menyetarakan hak wanita dengan
laki-laki, bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, sebagai kelas
sosial.
Dalam cerpen Aku, Ratih dan Kartini
memunculkan tokoh utama seorang perempuan, Ratih. Ratih hidup dalam kekangan
budaya keraton solo yang masih memegang erat kebudayaan lama. Perempuan tidak
bebas bergaul dengan orang lain dan tidak perlu melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang tinggi. Hingga pada akhirnya tokoh Rtaih membuktikan bahwa
perempuan bisa menyetarai kedudukan laki-laki yaitubisa melanjutkan sekolah ke
jenjang yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar